Sabtu, 21 April 2012

Kuliner Solo Bersatu di Galabo



Galabo yang merupakan kepanjangan dari Gladag Langen Bogan merupakan wisata kuliner malam di Kota Solo yang diresmikan pada Minggu malam 13 April 2008 oleh Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu. Inilah upaya Pemkab Solo untuk membikin wisata kuliner terpadu. Mirip dengan kawasan Kesawan di Medan atau Semawis di Semarang. Sepenggal jalan ditutup pada malam hari untuk digunakan sebagai tempat jualan makanan. Penjual berjejer di trotoar, sedangkan pembeli bisa menyantap makanannya di tenda-tenda yang berdiri di tengah jalan. Jika penuh bisa minta penjual untuk menggelar tikar dan makan lesehan di jalan.

Lokasi pusat kuliner ini ada di Jln. Mayor Sunaryo, di sebelah timur bundaran Gladag. Di sepanjang jalan ini berjejer Beteng Trade Center (BTC) dan Pusat Grosir Solo (PGS). Jika kita berjalan dari bundaran Gladag, akan kita temui semacam patung selamat datang berupa dandang dan kukusan di sebelah kiri ujung Jalan Mayor Sunarso. Menyusuri jalan, di sebelah kanan ada BTC dan PGS sementara di sebelah kiri ada Beteng Vastenburg. Siang hari sampai sekitar pukul 18.00 jalan ini tetap sebagai jalan raya. Setelah itu baru ditutup dan dijadikan pusat kuliner. Parkir disediakan tak jauh dari patung dandang dan kukusan tadi.



Saya datang masih agak "pagi", sekitar pukul 16.00, meski jalan sudah dalam proses penutupan. Beberapa kendaraan masih lalu lalang, tapi tak ramai. Akan tetapi malah dapat bonus melihat para pedagang menata lapaknya. Saya awalnya berpikir warung-warung yang ada di trotoar sedang berkemas-kemas untuk menutup warungnya karena akan diganti dengan warung malam. Waktu ke Kesawan, penjual dan pembeli berbaur di jalan yang sama. Ternyata di Galabo penjual dibikinkan dapur di trotoar dengan corak yang seragam, sementara pengunjung disediakan tempat di bawah tenda - "yang seragam juga" - di tengah jalan.



Karena masih pada mempersiapkan warungnya, maka saya pun menyisir jalan sampai ujung jalan. Ada sekitar 50-an warung yang terdaftar di papan tak jauh dari patung dandang dan kukusan. Karena ingin menjual Galabo sebagai wisata kuliner, maka dipilihlah pedagang makanan yang sudah kondang. Komposisinya adalah 60% pedagang yang sudah terkenal namanya di Solo, 20% adalah pedagang hasil seleksi pemkot, dan 20% lagi untuk pengelola. Maka berkumpulah Nasi Liwet Keprabon, Gudeg Ceker Margoyudan (di tempat aslinya baru buka pukul 01.30), Sate Kere Yu Rebi, Tengkleng Pasar Klewer Bu Edi, Bebek Pak Slamet, Nasi Tumpang Bu Mun, Harjo Bestik, Susu Segar Shi Jack, Bakso Alex, Tahu Kupat Bu Sri, dan Gempol Plered Bu Yami. Tentu masih banyak nama lagi yang saya tidak tahu tingkat keterkenalannya.




Menurut keterangan salah seorang penjual, hampir setiap malam Galabo dipenuhi pengunjung, baik dari Solo sendiri atau luar Solo. Ada yang sekeluarga atau pasangannya, ada pula yang rombongan. Malam itu saya sempat memergoki salah satu komunitas penunggang roda dua dari Semarang yang baru datang di Galabo. Jika cuaca cerah memang menyenangkan makan di alam terbuka beratapkan terpal. Atau lesehan beratapkan langit. Tak terbayangkan bahwa yang kita duduki adalah jalan raya!

Berhubung saya sudah kenyang dengan makanan yang berbau daging, maka saya memilih pecel saja. Pecelnya berbeda dengan pecel yang selama ini aku makan. Disajikan dalam pincuk (daun pisang yang dibikin seperti kubus), pecel ini menggunakan nasi merah. Yang membuatku teringat masa kecil adalah adanya mandingan (petai cina). Kata penjualnya terkadang dia memberi bunga turi. Sayang, pasokan bunga turi tidak bisa diandalkan. Rasa pecel sepertinya enak, cuma karena tidak tahan dengan rasa pedasnya maka aku makan sambil "doping" karak yang banyak. Alhasil, rasa pecel tertelah oleh gurih dan asinnya karak.

Pada akhir pekan ada musik hidup yang manggung di depan pelataran PGS. Pengunjung di akhir pekan juga lebih banyak dibandingkan dengan hari-hari biasa. 



Gladag Langen Bogan
Jalan Mayor Sunarso
Solo
Koordinat Bumi: S7o34'21.2" E110o49'46.5"
Buka dari pukul 17.00 - tengah malam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar